Beranda | Artikel
Fatwa Ulama: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina
Sabtu, 24 Juni 2023

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

 

Pertanyaan:

Saya adalah seorang laki-laki berusia 25 tahun. Baru-baru ini saya menemukan bahwa orang-orang yang saya tinggal bersama mereka bukanlah wali sebenarnya bagi saya. Ibu kandung sebenarnya adalah orang yang saya anggap sebagai bibi saya (yaitu, saudara perempuan wanita yang mengasuh saya). Di mana beliau terlibat dalam zina mahram dengan saudara laki-lakinya ketika dia berada di negara kafir –wallahu musta’an-. Lalu beliau hamil darinya dan tidak menikahinya, bahkan tetap melajang. Ketika beliau melahirkan saya, beliau pindah ke Aljazair. Dan beliau ingin meletakkan saya di panti asuhan, tetapi putri bibi saya melarangnya dan membawaku ke ibunya yang kemudian mengasuh saya. Dia memalsukan dokumen administrasi agar saya ber-intisab kepada mereka dan ber-laqab dengan nama suaminya. Karena suami bibi saya juga berzina dengan ibu kandung saya dan dia takut bahwa saya adalah anaknya, maka dia segera mengadopsi saya.

Pertanyaan saya adalah:

Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki status dan nasab saya? Ibunda kandung saya sekarang sudah menikah, apakah saya harus berbakti kepadanya? Dan apakah saya berhak mewarisinya jika dia meninggal, atau beliau berhak mewarisi saya jika saya meninggal? Saat ini, saya sedang mencari seorang istri, apakah saya dituntut mengungkapkan keadaan saya kepada calon wali? Mohon berikan fatwa kepada kami. Somoga Allah memberikan pahala.

Jawaban:

Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du,

Tidak ada dosa bagi orang yang bertanya dari segi syariat karena apa yang disebutkan adalah akibat dari perbuatan orang lain. Anak yang lahir (dari zina) tidak berdosa akibat yang dilakukan oleh pelaku zina. Bagi orang yang berzina dengan mahramnya, wajib mendapatkan hukuman had dengan kesepakatan para ulama, dengan adanya perbedaan pendapat mengenai sifat hukuman tersebut.

Hukumannya menurut syariat (menurut pendapat yang rajih) adalah dihukum mati dalam semua kondisi, baik ia sudah menikah atau belum menikah. Ini adalah mazhab Ahmad dan selain beliau dari kalangan ahli hadis. Mereka berdalil dengan hadis Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

Pamanku, Harits bin Amr melewati saya dengan membawa sebuah bendera yang diberikan kepadanya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya bertanya kepadanya, ‘Wahai pamanku, ke mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusmu?’ Dia berkata, ‘Dia mengutus saya kepada seorang pria yang menikahi istri ayahnya, dan dia memerintahkan saya untuk memenggal lehernya (dan mengambil hartanya).`”[1]

(Pendapat tersebut) berbeda dengan ulama yang berpendapat bahwa hukumannya tidak berbeda dengan hukuman bagi orang yang berzina dengan bukan mahramnya, dan ini adalah mazhab mayoritas ulama[2]. Namun, ketika sistem pengadilan saat ini tidak berhukum berdasarkan syariat dan batas-batasnya, maka kewajiban bagi keduanya adalah bertobat yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan (melakukan) semua syaratnya.

Adapun anak hasil zina, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan bibinya. Bahkan, meskipun suaminya mengklaimnya sebagai anak secara tidak syar’i, kecuali jika yang bersangkutan adalah ayah biologisnya yang telah terperinci dalam fatwa lain[3].

Dan dia diperbolehkan untuk menikah seperti individu lainnya karena itu bukanlah dosa yang ia lakukan dan bukan aib yang ia lakukan. Tetapi dia harus memberitahukan wali-wali wanita tentang kondisinya, karena mereka mungkin tidak menyukai perkawinan putri mereka dengan seseorang yang memiliki keturunan yang tidak jelas. Dan hukumnya menyesuaikan dengan kondisi wanita yang ingin dinikahi[4]. Jika menerima, maka pernikahannya sah. Dan jika mereka tidak menerima, dia bisa mencari yang lain.

Untuk memperbaiki nasab kekerabatannya dalam dokumen resmi, ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau pengacara untuk membimbingnya mengenai prosedur hukum dan kemungkinan memperbaiki dokumen tanpa merugikan keluarga yang mengadopsinya karena tidak tahu. Jika ada konsekuensi yang merugikan mereka, seperti penjara atau hal lainnya, maka biarkan dokumen tersebut tetap dalam keadaan semula dan dia tetap bernasab ke ibunya. Dan dia tidak boleh mewarisi apa pun dari keluarga yang mengadopsinya, kecuali melalui pemberian atau wasiat: sepertiga atau lebih rendah dari harta, dan dia tidak akan memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Jika bibinya yang membesarkannya tidak memberinya ASI selama dua tahun berturut-turut, maka anak-anaknya dari bibi tersebut akan dianggap sebagai ajnabiyah (orang asing) baginya, dan dia tidak boleh bercampur baur dan berduaan dengan mereka[5].

Untuk suami bibinya, jika dia tidak yakin bahwa anak ini berasal darinya, maka dia dapat meminta bantuan (setelah Allah) dengan melakukan tes DNA.[6] Orang yang meminta itu harus mendapat izin dari pengadilan. Jika terbukti bahwa dia adalah ayah kandung, dia telah mengadopsinya. Jika bukan ayah kandung, maka anak bernasab kepada ibunya yang melahirkannya (seperti yang telah disebutkan sebelumnya) dan akan mewarisi jika ibu tersebut meninggal dalam kedua keadaan, tes DNA tersebut benar atau tidak. Dan dia akan mewarisinya jika ibu meninggal karena dia adalah ibu kandung.

Demikian penjelasanya dan perlu diperhatikan bahwa ibu sebagai pelaku tetaplah ibu dan kewajiban untuk berbuat baik kepadanya tetap berlaku, meskipun dosanya besar. Terutama jika dia telah bertobat dengan tulus. Sebab seorang ibu pantas mendapatkan bakti dan perlakuan yang baik, meskipun dia berbuat kesyirikan. Dan tidak diragukan bahwa kesyirikan lebih besar dosanya daripada perzinaan. Oleh karena itu, Allah berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَا‌ۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Dan pengetahuan hanya ada pada Allah Yang Mahatinggi. Wa akhiru da’wana, anilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.

Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan

***

Penulis: Fauzan Hidayat


Artikel asli: https://muslim.or.id/85530-hukum-anak-hasil-zina.html